Beranda | Artikel
Istiqamah dalam Perjalanan Menuju Allah
Senin, 11 Januari 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Istiqamah dalam Perjalanan Menuju Allah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 27 Jumadil Awal 1442 H / 11 Januari 2021 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Istiqamah dalam Perjalanan Menuju Allah

Apa yang perlu dilakukan oleh seorang hamba untuk dapat istiqamah (konsisten) di dalam perjalanannya menuju Allah. Karena kita semua dalam perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa saja yang ingin meraih kebahagiaan di kehidupan akhirat, tentu saja harus menggapai keistiqamahan di kehidupan dunia.

Dan dalam menggapai tujuannya itu, dia tidak akan bisa mewujudkan keistiqamahan tersebut kecuali dengan dua perkara. Ada dua hal yang perlu dia penjarakan agar dia bebas berjalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak terganggu dan terhalang karena dua hal ini. Dua perkara ini wajib dia penjarakan dan jangan dia lepas. Karena kalau dia lepas, maka akan memangsa dirinya sendiri. Dua perkara yang harus dia penjarakan adalah:

1. Memenjarakan hati

Memenjarakan hati untuk tetap pada pencapaiannya menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati itu agar tidak berpaling ke kanan dan ke kiri, menoleh kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Memenjarakan hati bukanlah perkara yang mudah, karena dia bolak-balik. Dalam bahasa Arab disebut “القلب” karena dia selalu terbolak-balik dan kita dapat merasakan terbolak-baliknya hati itu dengan berbagai macam kehendak/keinginan/tujuan yang muncul di dalam hati. Hari ini kita ingin “A”, besok kita ingin “B”. Hari ini kita berhasrat untuk meraih satu tujuan, besok kita berpaling ke tujuan yang lain. Itulah berbolak-baliknya hati yang kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

“Sesungguhnya hati anak Adam di antara dua jari dari jari-jari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala membolak-balikkan hati itu menurut kehendak Allah.” (HR. Muslim)

Sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan. Hati itu akan mengarah kepada apa yang Allah arahkan. Tapi tentunya semua ada sebab akibatnya kenapa hati melenceng, kenapa hati berbalik, itu ada sebabnya.

Maka perkara pertama yang harus dipenjarakan oleh seorang hamba adalah hatinya sendiri. Ada semua doa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dapat mengendalikan hati, yaitu:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim)

Seseorang harus tetap mengawal hatinya, terutama dalam perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ketika seorang hamba lengah sedikit saja, maka setan mengincar hati manusia itu. Karena setan tahu bahwa panglima dari tubuh manusia adalah hatinya. Apabila panglima telah memerintahkan melakukan begini, maka semua akan mengikuti. Itulah kedudukan hati dalam tubuh manusia.

Maka coba lihat bagaimana setan membisikan was-was ke dalam hati Adam:

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَىٰ

Setan membisikkan was-was kepada Adam dan berkata kepada Adam: ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu sebuah pohon keabadian dan kerajaan yang tidak fana?’” (QS. Tha Ha[20]: 120)

Adam dibisikkan syubhat ke dalam hatinya kepada iblis. Satu syubhat yang terlihat indah, terlihat manis, terlihat baik, tapi dibalik itu adalah adzab dan kehancuran.

Maka tatkala Adam memakan buah itu, terjadilah pelanggaran tersebut. Dan Adam menerima konsekuensinya, yaitu dikeluarkan dari surga. Adam pun memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah menerima taubat Adam ‘Alaihis Salam.

Demikianlah bagaimana iblis melumpuhkan hati Adam sehingga melakukan pelanggaran tersebut. Dan inilah yang dilakukan oleh iblis kepada anak Adam, yaitu melumpuhkan hati mereka dan pada akhirnya mereka jatuh di dalam apa yang diinginkan oleh iblis.

Maka penjarakan hati dan tetapkan dia di atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini satu hikmah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajari doa tersebut kepada sahabat-sahabat beliau. Yang mana hati para sahabat adalah hati-hati yang terpilih. Sementara hati kita mungkin jauh daripada hati para sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka kita lebih patut untuk mengkhawatirkan hati kita daripada mereka.

Ketika hati bisa kita kendalikan, maka hati akan mudah untuk diisi dengan amunisinya untuk menangkis syubhat-syubhat musuh kita, yaitu ilmu. Ilmu akan mudah kita masukkan ke dalam hati apabila hati itu bisa kita kuasai. Tetapi kalau hati tidak bisa dikuasai, maka tidak ada ilmu yang akan bisa diserap oleh hati tersebut. Kalaupun hati menerimanya, ibarat menerima sebuah benda yang dipantulkan kembali, tidak bisa menyerapnya. Ilmu yang datang itu terpantul kembali menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, tidak merubah suasana hati sama sekali, yang tidak bisa mengobati hati dan tidak bisa untuk mengisi hati itu.

Maka masalahnya bukankah kita mendengar ilmu, masalahnya adalah apakah ilmu itu bisa masuk ke dalam hati kita dan bisa menghidupkan hati itu atau tidak. Itulah kenapa kita harus mengulang-mengurangi ilmu, agar ilmu itu betul-betul tertancap dan bersemayam di dalam hati kita.

Maka kita berlindung kepada Allah dengan berdoa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ…

“Ya Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk…” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah)

Maka salah satu kunci sukses kita di dalam menuntut ilmu adalah kita bisa mengkhusyukkan hati kita. Itu sangat penting. Dan kita menuntut ilmu bukan untuk mengejar sebutan, supaya disebut ini dan itu, atau untuk membanggakan diri di hadapan manusia. Manfaat ilmu lebih terpulang kepada diri kita terlebih dulu, merubah kita menjadi satu yang lebih baik, membawa kita kepada akhlak mulia, membawa kita kepada ibadah yang lurus, membawa kita kepada ketaatan dan ketundukan, melunakkan dan melembutkan hati kita, semakin dekat kita kepada Allah, semakin takut kita kepada Allah dengan ilmu tersebut.

Imam Ahmad menyimpulkannya di dalam satu kalimat, beliau mengatakan:

العلم: خشية الله

“Hakikat ilmu adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS. Fatir[35]: 28)

Dengan rasa takut, mereka berhati-hati. Orang yang merasa takut, cemas, dia akan waspada. Itu adalah sifat yang akan nampak padanya. Dia adalah orang yang waspada, segala tindakannya selalu dihitung dengan ilmu itu.

2. Memenjarakan lidah

Kalau ada anggota tubuh yang perlu kita penjarakan dalam waktu yang lama, maka anggota tubuh itu adalah lidah. Ada pepatah mengatakan “Memang lidah tak bertulang”. Ada dua amal yang apabila dua amal ini dilakukan, maka jaminannya adalah surga. Dan tidak ada amal yang setara dengan kedua amal ini. Nabi pernah menyampaikan ini kepada para sahabat: “‘Maukah aku tunjukkan kepada kalian dua perkara yang apabila kalian lakukan, maka jaminannya adalah surga.’ Maka Abu Dzar menjawab: “Iya, tentu saja Wahai Rasulullah.” Maka Nabi mengatakan:

عَلَيْكَ بِحُسْنِ الْخُلُقِ وَطُولِ الصَّمْتِ

“Hendaklah engkau berakhlak yang mulia dan menjaga lisan (lebih banyak diam).”

مَا عَمِلَ الْخَلَائِقُ بِمِثْلِهِمَا

“Tidak ada amal yang dilakukan oleh makhluk yang lebih utama daripada kedua amal ini.”

Kita tahu bahwasanya menjaga lisan ini termasuk salah satu akhlak mulia. Tapi Nabi dikeluarkan dari akhlak mulia secara umum dan disebutkan secara khusus. Hal ini karena kedudukannya yang spesial.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian Tentang Istiqamah dalam Perjalanan Menuju Allah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49615-istiqamah-dalam-perjalanan-menuju-allah/